Gonjang ganjing
kalangan pendidikan khususnya guru terkait kebijakan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan untuk melaksanakan Uji Kompetensi Ulang bagi guru yang sudah
bersertifikat (guru profesional), marak di berbagai media termasuk di dunia
maya. Sebagian guru khawatir dan merasa takut menghadapi ujian ulang ini. Lebih
ekstrim lagi beberapa pihak, baik pribadi maupun organisasi profesi guru secara
tegas menyatakan penolakan terhadap kebijakan tersebut. Mereka mengancam akan
memboikot pelaksanaan Ujian ulang yang dianggap hanya memberi kesulitan baru
bagi guru.
Sejujurnya sebagai
guru yang telah disertifikasi, tanpa bermaksud terlalu percaya diri, saya tidak
melihat sesuatu yang harus ditakuti dibalik kebijakan pemerintah tersebut.
Bukankah apa yang hendak diujikan adalah hal-hal yang sangat terkait dengan
keseharian aktifitas guru sebagai pendidik dan pengajar? Bukankah Uji Ulang
justru dapat menjadi arena pembuktian tentang kapasitas profesi yang dimiliki
para guru profesional? Bagi guru yang ragu tentang kebisaannya mengikuti
uji ulang ini, justru adanya kebijakan uji ulang menjadi momentum bagi guru
profesional untuk merefresh dan belajar kembali
hal-hal yang terkait dengan kompetensinya.. Hal ini dimungkinkan mengingat
informasi tentang pelaksanaan uji ulang kompetensi guru profesional telah
disosialisasikan jauh sebelum pelaksanaan ujian. Guru dengan sendirinya
telah diberi waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri. Belajar kembali tentang
semua hal yang terkait dengan 4 kompetensi guru, Paedagogik, Profesional,
Kepribadian dan Sosial.
Namun demikian,
harus diakui pula bahwa sebagian guru memang bersikap apatis terhadap upaya-upaya
pengembangan diri, baik yang dilakukan secara mandiri maupun melalui sarana
pelatihan guru yang tersedia. Padahal setiap hari guru harus berhadapan dengan
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut kemampuan
untuk bradaptasi dan mengupdatekompetensi yang telah dimiliki.
Pada sisi yang lain,
jika ditanya mana yang lebih penting antara memastikan kembali kompetensi guru
profesional melalui uji ulang atau membenahi mekanisme pembayaran tunjangan
guru profesional, maka menurut saya hal kedua adalah yang paling urgent saat ini. Fakta dilapangan memberikan kesan bahwa realisasi
hak-hak guru profesional melalui pembayaran TPP, penanganannya jauh dari
profesional. Saya mencatat berbagai masalah yang terjadi seputar pembayaran
tunjangan guru profesional, antara lain.
1. Plafond dana dari
Pemerintah Pusat ke daerah, selalu saja jauh dari cukup.
2. Pemerintah
kab/kota tidak melaporkan secara tepat waktu kekurangan dana ke Kemendikbud
3. Banyak guru yang
belum menerima kekurangan pembayaran sejak tahun 2010.
4. Pemkab/Pemkot
selalu terlambat menyalurkan tunjangan sekalipun dana telah dikirim PP.
5. Dana yang
digabung ke kas Pemkab/Pemkot sering terpakai untuk pos lain dalam APBD
6. Pembayaran di
setiap Kab/Kota tidak seragam.
7. Realisasi
pembayaran sering ditumpangi kepentingan politik politisi lokal.
8. Dll.
Persoalan diatas
seringkali menghadirkan kegalauan di kalangan guru sertifikasi. Kebijakan
sertifikasi yang seharusnya menjadi motifasi yang kuat bagi guru untuk
meningkatkan kinerjanya, justru seringkali menghadirkan kelesuan di kalangan
guru. Oleh karena itulah saya berpendapat seyogyanya pemerintah memberi
prioritas pada upaya untuk membenahi mekanisme pembayaran hak-hak guru
profesional melalui tunjangan profesinya daripada mengedepankan prasangka
tentang kompetensi guru profesional. Atau paling tidak lakukan dua hal ini
secara bersamaan. Membenahi mekanisme pembayaran tunjangan dengan
sebaik-baiknya di satu sisi dan disisi yang lain terus berupaya memastikan
bahwa guru bersertifikat benar-benar memilki kompetensi yang memadai dan terus
berupaya meningkatkan serta mengembangkan kompetensi tersebut.